Minggu, 22 November 2009

Masalah Sosial Di Indonesia

MASALAH SOSIAL MASYARAKAT

Bahwa sejak manusia mulai hidup bermasyarakat, maka sejak saat itu sebuah gejala yang disebut
masalah sosial berkutat didalamnya.
Sebagaimana diketahui, dalam realitas sosial memang tidak pernah dijumpai suatu kondisi masyarakat yang ideal. Dalam pengertian tidak pernah dijumpai kondisi yang menggambarkan bahwa seluruh kebutuhan setiap warga masyarakat terpenuhi, seluruh prilaku kehidupan sosial sesuai harapan atau seluruh warga masyarakat dan komponen sistem sosial mampu menyesuaikan dengan tuntutan perubahan yang terjadi. Dengan kata lain das sein selalu tidak sesuai das sollen.
Pada jalur yang searah, sejak tumbuhnya ilmu pengetahuan sosial yang mempunyai obyek studi kehidupan masyarakat, maka sejak itu pula studi masalah sosial mulai dilakukan. Dari masa ke masa para sosiolog mengumpulkan dan mengkomparasikan hasil studi melalui beragam perspektif dan fokus perhatian yang berbeda-beda, hingga pada akhirnya semakin memperlebar jalan untuk memperoleh pandangan yang komprehensif serta wawasan yang luas dalam memahami dan menjelaskan fenomena sosial. Buku ini hadir dengan fokus studi masalah sosial yang sekaligus memuat referensi dan rekomendasi bagi tindakan untuk melakukan penanganan masalah. Di negara-negara berkembang, tindakan untuk melakukan perubahan dan perbaikan dalam rangka penanganan masalah sosial menjadi perhatian yang sangat serius demi kelangsungan serta kemajuan bangsanya menuju cita-cita kemakmuran dan kesejahteraan. Terkait hal itu, pembahasan mengenai berbagai perspektif sosial, identifikasi melalui serangkaian unit analisis serta pemecahan masalah yang berbasis negara dan masyarakat menjadi tema-tema yang diulas secara teoritis dalam buku ini. Sumber Masalah
Masalah sosial menemui pengertiaannya sebagai sebuah kondisi yang tidak diharapkan dan dianggap dapat merugikan kehidupan sosial serta bertentangan dengan standar sosial yang telah disepakati. Keberadaan masalah sosial ditengah kehidupan masyarakat dapat diketahui secara cermat melalui beberapa proses dan tahapan analitis, yang salah satuny
a berupa tahapan diagnosis. Dalam mendiagnosis masalah sosial diperlukan sebuah pendekatan sebagai perangkat untuk membaca aspek masalah secara konseptual. Eitzen membedakan adanya dua pendekatan yaitu person blame approach dan system blame approach (hlm. 153). Person blame approach merupakan suatu pendekatan untuk memahami masalah sosial pada level individu. Diagnosis masalah menempatkan individu sebagai unit analisanya. Sumber masalah sosial dilihat dari faktor-faktor yang melekat pada individu yang menyandang masalah. Melalui diagnosis tersebut lantas bisa ditemukan faktor penyebabnya yang mungkin berasal dari kondisi fisik, psikis maupun proses sosialisasinya. Sedang pendekatan kedua system blame approach merupakan unit analisis untuk memahami sumber masalah pada level sistem. Pendekatan ini mempunyai asumsi bahwa sistem dan struktur sosial lebih dominan dalam kehidupan bermasyarakat. Individu sebagai warga masyarakat tunduk dan dikontrol oleh sistem. Selaras dengan itu, masalah sosial terjadi oleh karena sistem yang berlaku didalamnya kurang mampu dalam mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi, termasuk penyesuaian antar komponen dan unsur dalam sistem itu sendiri. Dari kedua pendekatan tersebut dapat diketahui, bahwa sumber masalah dapat ditelusuri dari ”kesalahan" individu dan "kesalahan" sistem. Mengintegrasikan kedua pendekatan tersebut akan sangat berguna dalam rangka melacak akar masalah untuk kemudian dicarikan pemecahannya. Untuk mendiagnosis masalah pengangguran misalnya, secara lebih komprehensif tidak cukup dilihat dari faktor yang melekat pada diri penganggur saja seperti kurang inovatif atau malas mencari peluang, akan tetapi juga perlu dilihat sumbernya masalahnya dari level sistem baik sistem pendidikan, sistem produksi dan sistem perokonomian atau bahkan sistem sosial politik pada tingkat yang lebih luas. Masyarakat Dan Negara Parillo menyatakan, kenyataan paling mendasar dalam kehidupan sosial adalah bahwa masyarakat terbentuk dalam suatu bangunan struktur. Melalui bangunan struktural tertentu maka dimungkinkan beberapa individu mempunyai kekuasaan, kesempatan dan peluang yang lebih baik dari individu yang lain (hlm. 191). Dari hal tersebut dapat dimengerti apabila kalangan tertentu dapat memperoleh manfaat yang lebih besar dari kondisi sosial yang ada sekaligus memungkinkan terpenuhinya segala bentuk kebutuhan, sementara dipihak lain masih banyak yang kekurangan.Masalah sosial sebagai kondisi yang dapat menghambat perwujudan kesejahteraan sosial pada gilirannya selalu mendorong adanya tindakan untuk melakukan perubahan dan perbaikan. Dalam konteks tersebut, upaya pemecahan sosial dapat dibedakan antara upaya pemecahan berbasis negara dan berbasis masyarakat. Negara merupakan pihak yang sepatutnya responsif terhadap keberadaan masalah sosial. Perwujudan kesejahteraan setiap warganya merupakan tanggung jawab sekaligus peran vital bagi keberlangsungan negara. Di lain pihak masyarakat sendiri juga perlu responsif terhadap masalah sosial jika menghendaki kondisi kehidupan berkembang ke arah yang semakin baik. Salah satu bentuk rumusan tindakan negara untuk memecahkan masalah sosial adalah melalui kebijakan sosial. Suatu kebijakan akan dapat dirumuskan dengan baik apabila didasarkan pada data dan informasi yang akurat. Apabila studi masalah sosial dapat memberikan informasi yang lengkap dan akurat maka bararti telah memberikan kontribusi bagi perumusan kebijakan sosial yang baik, sehingga bila diimplementasikan akan mampu menghasilkan pemecahan masalah yang efektif. Upaya pemecahan sosial sebagai muara penanganan sosial juga dapat berupa suatu tindakan bersama oleh masyarakat untuk mewujudkan suatu perubahan yang sesuai yang diharapkan. Dalam teorinya Kotler mengatakan, bahwa manusia dapat memperbaiki kondisi kehidupan sosialnya dengan jalan mengorganisir tindakan kolektif. Tindakan kolektif dapat dilakukan oleh masyarakat untuk melakukan perubahan menuju kondisi yang lebih sejahtera. Kebermaknaan suatu studi termasuk studi masalah sosial disamping ditentukan oleh wawasan teoritik dalam menjelaskan gejala dan alur penalaran dari berbagai proposisi yang dihasilkan, juga sangat ditentukan oleh bagaimana studi itu dapat memberikan manfaat bagi kehidupan. Setidaknya seperti itulah muatan optimisme yang di kehendaki penulis buku ini.


CONTOH MASALAH SOSIAL PENGANGGURAN:



Pengangguran dan Pengertiannya
Dalam indikator ekonomi makro ada tiga hal terutama yang menjadi pokok
permasalahan ekonomi makro. Pertama adalah masalah pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi dapat dikategorikan baik jika angka pertumbuhan positif
dan bukannya negatif. Kedua adalah masalah inflasi. Inflasi adalah indikator
pergerakan harga-harga barang dan jasa secara umum, yang secara bersamaan
juga berkaitan dengan kemampuan daya beli. Inflasi mencerminkan stabilitas
harga, semakin rendah nilai suatu inflasi berarti semakin besar adanya
kecenderungan ke arah stabilitas harga. Namun masalah inflasi tidak hanya
berkaitan dengan melonjaknya harga suatu barang dan jasa. Inflasi juga
sangat berkaitan dengan purchasing power atau daya beli dari masyaraka.
Sedangkan daya beli masyarakat sangat bergantung kepada upah riil. Inflasi
sebenarnya tidak terlalu bermasalah jika kenaikan harga dibarengi dengan
kenaikan upah riil. Masalah ketiga adalah pengangguran. Memang masalah
pengangguran telah menjadi momok yang begitu menakutkan khususnya di
negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Negara berkembang seringkali
dihadapkan dengan besarnya angka pengangguran karena sempitnya lapangan
pekerjaan dan besarnya jumlah penduduk. Sempitnya lapangan pekerjaan
dikarenakan karena faktor kelangkaan modal untuk berinvestasi. Masalah
pengangguran itu sendiri tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang
namun juga dialami oleh negara-negara maju. Namun masalah pengangguran di
negara-negara maju jauh lebih mudah terselesaikan daripada di negara-negara
berkembang karena hanya berkaitan dengan pasang surutnya business cycle dan
bukannya karena faktor kelangkaan investasi, masalah ledakan penduduk,
ataupun masalah sosial politik di negara tersebut. Melalui artikel inilah
saya mencoba untuk mengangkat masalah pengangguran dengan segala dampaknya
di Indonesia yang menurut pengamatan saya sudah semakin memprihatinkan
terutama ketika negara kita terkena imbas dari krisis ekonomi sejak tahun
1997 .

Apa itu pengangguran? Pengangguran adalah suatu kondisi di mana orang tidak
dapat bekerja, karena tidak tersedianya lapangan pekerjaan. Ada berbagai
macam tipe pengangguran, misalnya pengangguran teknologis, pengangguran
friksional dan pengangguran struktural. Tingginya angka pengangguran,
masalah ledakan penduduk, distribusi pendapatan yang tidak merata, dan
berbagai permasalahan lainnya di negara kita menjadi salah satu faktor utama
rendahnya taraf hidup para penduduk di negara kita. Namun yang menjadi
manifestasi utama sekaligus faktor penyebab rendahnya taraf hidup di
negara-negara berkembang adalah terbatasnya penyerapan sumber daya, termasuk
sumber daya manusia. Jika dibandingkan dengan negara-negara maju,
pemanfaatan sumber daya yang dilakukan oleh negara-negara berkembang relatif
lebih rendah daripada yang dilakukan di negara-negara maju karena buruknya
efisiensi dan efektivitas dari penggunaan sumber daya baik sumber daya alam
maupun sumber daya manusia. Dua penyebab utama dari rendahnya pemanfaatan
sumber daya manusia adalah karena tingkat pengangguran penuh dan tingkat
pengangguran terselubung yang terlalu tinggi dan terus melonjak.
Pengangguran penuh atau terbuka yakni terdiri dari orang-orang yang
sebenarnya mampu dan ingin bekerja, akan tetapi tidak mendapatkan lapangan
pekerjaan sama sekali. Berdasarkan data dari Depnaker pada tahun 1997 jumlah
pengangguran terbuka saja sudah mencapai sekitar 10% dari sekitar 90 juta
angkatan kerja yang ada di Indonesia, dan jumlah inipun belum mencakup
pengangguran terselubung. Jika persentase pengangguran total dengan
melibatkan jumlah pengangguran terselubung dan terbuka hendak dilihat
angkanya, maka angkanya sudah mencapai 40% dari 90 juta angkatan kerja yang
berarti jumlah penganggur mencapai sekitar 36 juta orang. Adapun
pengangguran terselubung adalah orang-orang yang menganggur karena bekerja
di bawah kapasitas optimalnya. Para penganggur terselubung ini adalah
orang-orang yang bekerja di bawah 35 jam dalam satu minggunya. Jika kita
berasumsi bahwa krisis ekonomi hingga saat ini belum juga bisa terselesaikan
maka angka-angka tadi dipastikan akan lebih melonjak.

Ledakan Pengangguran
Akibat krisis finansial yang memporak-porandakan perkonomian nasional,
banyak para pengusaha yang bangkrut karena dililit hutang bank atau hutang
ke rekan bisnis. Begitu banyak pekerja atau buruh pabrik yang terpaksa
di-PHK oleh perusahaan di mana tempat ia bekerja dalam rangka pengurangan
besarnya cost yang dipakai untuk membayar gaji para pekerjanya. Hal inilah
yang menjadi salah satu pemicu terjadinya ledakan pengangguran yakni
pelonjakan angka pengangguran dalam waktu yang relatif singkat.

Awal ledakan pengangguran sebenarnya bisa diketahui sejak sekitar tahun 1997
akhir atau 1998 awal. Ketika terjadi krisis moneter yang hebat melanda Asia
khususnya Asia Tenggara mendorong terciptanya likuiditas ketat sebagai
reaksi terhadap gejolak moneter. Di Indonesia, kebijakan likuidasi atas 16
bank akhir November 1997 saja sudah bisa membuat sekitar 8000 karyawannya
menganggur. Dan dalam selang waktu yang tidak relatif lama, 7.196 pekerja
dari 10 perusahaan sudah di PHK dari pabrik-pabrik mereka di Jawa Barat,
Jakarta, Yogyakarta, dan Sumatera Selatan berdasarkan data pada akhir
Desember 1997. Ledakan pengangguranpun berlanjut di tahun 1998, di mana
sekitar 1,4 juta pengangguran terbuka baru akan terjadi. Dengan perekonomian
yang hanya tumbuh sekitar 3,5 sampai 4%, maka tenaga kerja yang bisa diserap
sekitar 1,3 juta orang dari tambahan angkatan kerja sekitar 2,7 juta orang.
Sisanya menjadi tambahan pengangguran terbuka tadi. Total pengangguran
jadinya akan melampaui 10 juta orang. Berdasarkan pengalaman, jika kita
mengacu pada data-data pada tahun 1996 maka pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5
sampai 4% belumlah memadai, seharusnya pertumbuhan ekonomi yang ideal bagi
negara berkembang macam Indonesia adalah di atas 6%.

Berdasarkan data sepanjang di tahun 1996, perekonomian hanya mampu menyerap
85,7 juta orang dari jumlah angkatan kerja 90,1 juta orang. Tahun 1996
perekonomian mampu menyerap jumlah tenaga kerja dalam jumlah relatif besar
karena ekonomi nasional tumbuh hingga 7,98 persen. Tahun 1997 dan 1998,
pertumbuhan ekonomi dapat dipastikan tidak secerah tahun 1996. Pada tahun
1998 krisis ekonomi bertambah parah karena banyak wilayah Indonesia yang
diterpa musim kering, inflasi yang terjadi di banyak daerah, krisis moneter
di dalam negeri maupun di negara-negara mitra dagang seperti sesama ASEAN,
Korsel dan Jepang akan sangat berpengaruh. Jika kita masih berpatokan dengan
asumsi keadaan di atas, maka ledakan pengangguran diperkirakan akan
berlangsung terus sepanjang tahun-tahun ke depan.

Memang ketika kita menginjak tahun 2000, jumlah pengangguran di tahun 2000
ini sudah menurun dibanding tahun 1999. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi
tahun 2000 yang meningkat menjadi 4,8 persen. Pengangguran tahun 1999 yang
semula 6,01 juga turun menjadi 5,87 juta orang. Sedang setengah pengangguran
atau pengangguran terselubung juga menurun dari 31,7 juta menjadi 30,1 juta
orang pada tahun 2000. Jumlah pengangguran saat ini mencapat sekitar 35,97
juta orang, namun pemerintah masih memfokuskan penanggulangan pengangguran
ini pada 16,48 juta orang. Jumlah pengangguran saat ini yaitu pada tahu 2001
mencapai 35,97 juta orang yang diperkirakan bisa bertambah bila pemulihan
ekonomi tidak segera berjalan dengan baik. Karena hal inilah maka pemerintah
perlu berusaha semaksimal mungkin untuk mencari investor asing guna
menanamkan modalnya di sini sehingga lapangan pekerjaan baru dapat tercipta
untuk dapat menyerap sebanyak mungkin tenaga kerja.

Berdasarkan perhitungan maka pada saat ini perekonomian negara kita
memerlukan pertumbuhan ekonomi minimal 6 persen, meski idealnya diatas 6
persen, sehingga bisa menampung paling tidak 2,4 juta angkatan kerja baru.
Sebab dari satu persen pertumbuhan ekonomi bisa menyerap sektiar 400 ribu
angkatan kerja. Ini juga ditambah dengan peluang kerja di luar negeri yang
rata-rata bisa menampung 500 ribu angkatan kerja setiap tahunnya. Untuk
memacu pertumbuhan ekonomi yang pesat maka mau tidak mau negara kita
terpaksa harus menarik investasi asing karena sangatlah sulit untuk
mengharapkan banyak dari investasi dalam negeri mengingat justru di dalam
negeri para pengusaha besar banyak yang berhutang ke luar negeri. Hal ini
bertambah parah karena hutang para pengusaha (sektor swasta) dan pemerintah
dalam bentuk dolar. Sementara pada saat ini nilai tukar rupiah begitu rendah
(undervalue) terhadap dolar.
Namun menarik para investor asingpun bukan merupakan pekerjaan yang mudah
jika kita berkaca pada situasi dan kondisi sekarang ini. Suhu politik yang
semakin memanas, kerawanan sosial, teror bom, faktor desintegrasi bangsa,
dan berbagai masalah lainnya akan membuat para investor asing enggan untuk
menanamkan modalnya di Indonesia. Karena itulah maka situasi dan kondisi
yang kondusif haruslah diupayakan dan dipertahankan guna menarik investor
asing masuk kemari dan menjaga agar para investor asing yang sudah
menanamkan modalnya asing tidak lagi menarik modalnya ke luar yang nantinya
akan berakibat capital outflow.

Masalah Pengangguran dan Krisis Sosial
Jika masalah pengangguran yang demikian pelik dibiarkan berlarut-larut maka
sangat besar kemungkinannya untuk mendorong suatu krisis sosial. Suatu
krisis sosial ditandai dengan meningkatnya angka kriminalitas, tingginya
angka kenakalan remaja, melonjaknya jumlah anak jalanan atau preman, dan
besarnya kemungkinan untuk terjadi berbagai kekerasan sosial yang senantiasa
menghantui masyarakat kita.

Bagi banyak orang, mendapatkan sebuah pekerjaan seperti mendapatkan harga
diri. Kehilangan pekerjaan bisa dianggap kehilangan harga diri. Walaupun
bukan pilihan semua orang, di zaman serba susah begini pengangguran dapat
dianggap sebagai nasib. Seseorang bisa saja diputus hubungan kerja karena
perusahaannya bangkrut. Padahal di masyarakat, jutaan penganggur juga antri
menanti tenaganya dimanfaatkan.
Besarnya jumlah pengangguran di Indonesia lambat-laun akan menimbulkan
banyak masalah sosial yang nantinya akan menjadi suatu krisis sosial, karena
banyak orang yang frustasi menghadapi nasibnya. Pengangguran yang terjadi
tidak saja menimpa para pencari kerja yang baru lulus sekolah, melainkan
juga menimpa orangtua yang kehilangan pekerjaan karena kantor dan pabriknya
tutup. Indikator masalah sosial bisa dilihat dari begitu banyaknya anak-anak
yang mulai turun ke jalan. Mereka menjadi pengamen, pedagang asongan maupun
pelaku tindak kriminalitas. Mereka adalah generasi yang kehilangan
kesempatan memperoleh pendidikan maupun pembinaan yang baik.

Salah satu faktor yang mengakibatkan tingginya angka pengangguran di negara
kita adalah terlampau banyak tenaga kerja yang diarahkan ke sektor formal
sehingga ketika mereka kehilangan pekerjaan di sektor formal, mereka
kelabakan dan tidak bisa berusaha untuk menciptakan pekerjaan sendiri di
sektor informal. Justru orang-orang yang kurang berpendidikan bisa melakukan
inovasi menciptakan kerja, entah sebagai joki yang menumpang di mobil atau
joki payung kalau hujan. Juga para pedagang kaki lima dan tukang becak,
bahkan orang demo saja dibayar. Yang menjadi kekhawatiran adalah jika banyak
para penganggur yang mencari jalan keluar dengan mencari nafkah yang tidak
halal. Banyak dari mereka yang menjadi pencopet, penjaja seks, pencuri,
preman, penjual narkoba, dan sebagainya. Bahkan tidak sedikit mereka yang
dibayar untuk berbuat rusuh atau anarkis demi kepentingan politik salah satu
kelompok tertentu yang masih erat hubungannya dengan para pentolan Orba. Ada
juga yang menyertakan diri menjadi anggota laskar jihad yang dikirim ke
Ambon dengan dalih membela agama. Padahal di sana mereka cuma jadi perusuh
yang doyan menjarah, memperkosa, dan membunuh orang-orang Maluku yang tidak
berdosa. Hal inilah yang harus diperhatikan oleh pemerintah jika krisis
sosial tidak ingin berlanjut terus.

Masalah Pengangguran dan Pendidikan
Pengangguran intelektual di Indonesia cenderung terus meningkat dan semakin
mendekati titik yang mengkhawatirkan. Diperkirakan angka pengangguran
intelektual yang pada tahun 1995 mencapai 12,36 persen, pada tahun 1995
diperkirakan akan meningkat menjadi 18,55 persen, dan pada tahun 2003
meningkat lagi menjadi 24,5 persen. Pengangguran intelektual ini tidak
terlepas dari persoalan dunia pendidikan yang tidak mampu menghasilkan
tenaga kerja berkualitas sesuai tuntutan pasar kerja sehingga seringkali
tenaga kerja terdidik kita kalah bersaing dengan tenaga kerja asing.
Fenomena inilah yang sedang dihadapi oleh bangsa kita di mana para tenaga
kerja yang terdidik banyak yang menganggur walaupun mereka sebenarnya
menyandang gelar.

Meski ada kecenderungan pengangguran terdidik semakin meningkat namun upaya
perluasan kesempatan pendidikan dari pendidikan menengah sampai pendidikan
tinggi tidak boleh berhenti. Akan tetapi pemerataan pendidikan itu harus
dilakukan tanpa mengabaikan mutu pendidikan itu sendiri. Karena itu maka
salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita adalah sulitnya memberikan
pendidikan yang benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam
berkarier atau bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada
segi teori dan bukannya praktek. Pendidikan seringkali disampaikan dalam
bentuk yang monoton sehingga membuat para siswa menjadi bosan. Di
negara-negara maju, pendidikkan dalam wujud praktek lebih diberikan dalam
porsi yang lebih besar. Di sanapun, cara pembelajaran dan pemberian
pendidikkan diberikan dalam wujud yang lebih menarik dan kreatif. Di negara
kita, saat ini ada kecenderungan bahwa para siswa hanya mempunyai kebiasaan
menghafal saja untuk pelajaran-pelajaran yang menyangkut ilmu sosial,
bahasa, dan sejarah atau menerima saja berbagai teori namun sayangnya para
siswa tidak memiliki kemampuan untuk menggali wawasan pandangan yang lebih
luas serta cerdas dalam memahami dan mengkaji suatu masalah. Sedangkan untuk
ilmu pengetahuan alam para siswa cenderung hanya diberikan latihan soal-soal
yang cenderung hanya melatih kecepatan dalam berpikir untuk menemukan
jawaban dan bukannya mempertajam penalaran atau melatih kreativitas dalam
berpikir. Contohnya seperti seseorang yang pandai dalam mengerjakan
soal-soal matematika bukan karena kecerdikan dalam melakukan analisis
terhadap soal atau kepandaian dalam membuat jalan perhitungan tetapi karena
dia memang sudah hafal tipe soalnya. Seringkali seseorangpun hanya sekedar
bisa mengerjakan soalnya dengan menggunakan rumus tetapi tidak tahu asal
muasal rumus tersebut. Kenyataan inilah yang menyebabkan sumber daya manusia
kita ketinggalan jauh dengan sumber daya manusia yang ada di negara-negara
maju. Kita hanya pandai dalam teori tetapi gagal dalam praktek dan dalam
profesionalisme pekerjaan tersebut. Rendahnya kualitas tenaga kerja terdidik
kita juga adalah karena kita terlampau melihat pada gelar tanpa secara
serius membenahi kualitas dari kemampuan di bidang yang kita tekuni.
Sehingga karena hal inilah maka para tenaga kerja terdidik sulit bersaing
dengan tenaga kerja asing dalam usaha untuk mencari pekerjaan.

Jika kita melihat dari sudut pandang ekonomi, pengangguran tenaga kerja
terdidik cenderung meningkat pada saat masyarakat mengalami proses
modernisasi dan industrialisasi. Dalam proses perubahan itu terjadi
pergeseran tenaga kerja antarsektor, yaitu dari sektor ekonomi subsistem ke
sektor ekonomi renumeratif. Setelah kembali mapan, pengangguran akan
cenderung rendah kembali. Proses industrialisasi tidak hanya terjadi pada
suatu titik waktu akan tetapi merupakan suatu proses yang berkelanjutan.
Pergeseran ekonomi dalam proses industrialisasi tidak hanya berlangsung dari
pertanian ke industri tetapi juga terus terjadi dari industri berteknologi
rendah ke teknologi, dan selanjutnya menuju industri yang berbasis informasi
dan intelektualitas. Pada tahap ini, lanjutnya, perubahan itu terus
berlangsung dari waktu ke waktu yang mengakibatkan tenaga kerja harus
terus-menerus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan teknologi.
Akibatnya pengangguran merupakan suatu kondisi normal di negara-negara maju
yang teknologinya terus berubah. Masalah pengangguran terdidik di Indonesia,
tuturnya, sudah mulai mencuat sejak sekitar tahun 1980-an saat Indonesia
mulai memasuki era industri. Pada tahun 1970-an pemerintah melakukan
investasi besar-besaran pada sektor-sektor yang berkaitan dengan kebutuhan
dasar, seperti pertanian dan pendidikan dasar. Memasuki dasawarsa 1980-an,
output pendidikan SD dalam jumlah besar telah mendorong pertumbuhan
besar-besaran pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi. Namun masalah
pendidikan menjadi dilematis, di satu sisi pendidikan dianggap sangat lambat
mengubah struktur angkatan kerja terdidik karena angkatan kerja lulusan
pendidikan tinggi baru 3,05 persen dari angkatan kerja nasional. Namun di
sisi lain, pendidikan juga dipersalahkan karena mengeluarkan lulusan
pendidikan tinggi yang terlalu banyak sehingga menjadi penganggur.

Salah satu penyebab pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi adalah
karena kualitas pendidikan tinggi di Indonesia yang masih rendah. Akibatnya
lulusan yang dihasilkanpun kualitasnya rendah sehingga tidak sesuai dengan
tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Pengangguran terdidik dapat saja
dipandang sebagai rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan. Namun
bila dilihat lebih jauh, dari sisi permintaan tenaga kerja, pengangguran
terdidik dapat dipandang sebagai ketidakmampuan ekonomi dan pasar kerja
dalam menyerap tenaga terdidik yang muncul secara bersamaan dalam jumlah
yang terus berakumulasi.

Masalah Pengangguran dan Inflasi
Setelah dalam sepuluh tahun terakhir laju inflasi nasional mampu
dipertahankan di bawah angka sepuluh persen, namun pada tahun 1997 laju
inflasi akhirnya menembus angka dua digit, yaitu 11,05 persen. Laju inflasi
tahun 1997 itu jauh lebih tinggi jika dibandingkan inflasi 1996 yang 6,47
persen. Hal itu terjadi, di samping karena kemarau panjang, antara lain juga
akibat krisis moneter yang akhirnya melebar jadi krisis ekonomi. Inflasi
bulan Desember 1997 saja tercatat 2,04 persen. Dengan angka inflasi 11,05
persen, sekaligus menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki angka
inflasi tertinggi di ASEAN, setidaknya dalam tiga tahun terakhir ini.
Tingginya angka inflasi karena tidak seimbangnya antara permintaan dan
penawaran barang dan jasa.

Ini membuktikan tingginya laju inflasi di negara kita lebih banyak
dipengaruhi sektor riil, bukan sektor moneter. Jika kita mengambil
kesimpulan mengenai masalah inflasi di Indonesia bahwa ternyata laju inflasi
tidak semata ditentukan faktor moneter, tapi juga faktor fisik. Ada empat
faktor yang menentukan tingkat inflasi. Pertama, uang yang beredar baik uang
tunai maupun giro. Kedua, perbandingan antara sektor moneter dan fisik
barang yang tersedia. Ketiga, tingkat suku bunga bank juga ikut mempengaruhi
laju inflasi. Suku bunga di Indonesia termasuk lebih tinggi dibandingkan
negara di kawasan Asia. Keempat, tingkat inflasi ditentukan faktor fisik
prasarana. Melonjaknya inflasipun karena dipicu oleh kebijakan pemerintah
yang menarik subisidi sehingga harga listrik dan BBM meningkat. Kenaikan BBM
ini telah menggenjot tingkat inflasi bulan Juni 2001 menjadi 1,67 persen.
Dampak ini masih terasa sampai bulan Juli 2001 yang akan memberikan
sumbangan inflasi antara 0,3-1 persen. Efek domino yang ditimbulkan pun
masih menjadi pemicu kenaikan harga lainnya. Diperkirakan inflasi tahun ini
tembus dua digit. Kebijakan kenaikan harga BBM per 15 Juni 2001, menjadi
pemicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lainnya. Kenaikan BBM tersebut
cukup memberatkan masyarakat lapisan bawah karena dapat menimbulkan
multiplier effect, mendorong kenaikan harga jenis barang lainnya yang dalam
proses produksi maupun distribusinya menggunakan BBM.

Tingginya angka inflasi selanjutnya akan menurunkan daya beli masyarakat.
Untuk bisa bertahan pada tingkat daya beli seperti sebelumnya, para pekerja
harus mendapatkan gaji paling tidak sebesar tingkat inflasi. Kalau tidak,
rakyat tidak lagi mampu membeli barang-barang yang diproduksi. Jika
barang-barang yang diproduksi tidak ada yang membeli maka akan banyak
perusahaan yang berkurang keuntungannya. Jika keuntungan perusahaan
berkurang maka perusahaan akan berusaha untuk mereduksi cost sebagai
konsekuensi atas berkurangnya keuntungan perusahaan. Hal inilah yang akan
mendorong perusahaan untuk mengurangi jumlah pekerja/buruhnya dengan mem-PHK
para buruh. Salah satu dari jalan keluar dari krisis ini adalah menstabilkan
rupiah. Membaiknya nilai tukar rupiah tidak hanya tergantung kepada money
suplly dari IMF, tetapi juga investor asing (global investment society)
mengalirkan modalnya masuk ke Indonesia (capital inflow). Karena hal inilah
maka pengendalian laju inflasi adalah penting dalam rangka mengendalikan
angka pengangguran.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar